Oleh: Prasetyo Budi | Realitakini.com
Bencana di Sumatera kembali memukul kita dengan kenyataan pahit. Dari banjir bandang di Sumatera Barat, longsor di Aceh, hingga deretan bencana ekologis lain yang datang seperti tamu tak diundang, semuanya seperti alarm keras yang terus dibunyikan alam—namun seolah kita tetap pura-pura tuli.
Setiap kali bencana datang, kita sibuk dengan doa, tagar, dan seruan belasungkawa. Tetapi jarang sekali kita berani bertanya:
Siapa yang benar-benar bertanggung jawab atas rusaknya rumah kita, tanah kita, dan hidup kita?
Sumatera Menangis, Tapi Siapa yang Mendengarkan?
Curah hujan tinggi memang bisa menjadi pemicu, tetapi hujan bukan pelakunya.
Pelaku sebenarnya adalah:
-
gunungan bukit yang habis dicukur,
-
hutan lindung yang berubah jadi lahan tebang habis,
-
sungai yang dicekik bangunan ilegal,
-
dan pemerintahan daerah yang lebih cepat mengeluarkan izin tambang daripada mengeluarkan peringatan dini bencana.
Bencana ini bukan sekadar “musibah”.
Ini adalah hasil dari kelalaian berjamaah, yang dilakukan dengan sadar, atas nama pembangunan, investasi, dan keuntungan jangka pendek.
Ketika Banjir Datang, Semua Tiba-Tiba Sibuk Berpura-Pura Tidak Tahu Akar Masalah
Setiap tahun Sumatera Barat kebanjiran. Setiap tahun pula semua pihak tiba-tiba mengaku “kaget”.
Padahal alat berat yang melahap hutan itu tidak muncul dari tanah.
Surat izin penebangan tidak turun dari langit.
Dan perusakan lingkungan tidak terjadi dalam semalam.
Kalau pemerintah benar-benar tidak tahu, berarti ada masalah besar dalam pengawasan.
Kalau mereka tahu tetapi diam, itu masalah yang lebih besar lagi.
Aceh: Tanah yang Kaya, Tapi Berkali-Kali Disakiti
Longsor dan banjir di Aceh bukan kejadian baru.
Setiap kali terjadi, masyarakat bawah yang menjadi korban; padahal masyarakat bukanlah pihak yang menebangi hutan, bukan yang menandatangani izin eksploitasi, bukan pula yang mengambil keuntungan dari cengkraman tambang dan korporasi.
Ironis: yang merusak dapat keuntungan, yang tidak ikut apa-apa justru mendapat derita.
Ini Bukan Lagi Saatnya Berdoa Saja—Ini Saatnya Menegur
Kita perlu berani menegur pemerintah, berani mengkritik perusahaan-perusahaan yang merusak, dan berani mempertanyakan kebijakan yang menghalalkan pengerukan alam secara brutal.
Karena alam sudah bicara dengan bahasa yang paling jelas:
air bah, tanah longsor, rumah-rumah hanyut, dan nyawa hilang.
Jika itu belum cukup membuat kita sadar, entah bencana sebesar apa lagi yang dibutuhkan.
Renungan: Alam Tidak Membalas, Ia Hanya Mengembalikan
Hutan ditebang → tanah longsor.
Daerah resapan ditutup beton → banjir.
Sungai dipersempit → air meluap.
Gunung digerogoti → bencana datang tanpa permisi.
Sederhana.
Alam tidak sedang marah. Ia hanya mengembalikan apa yang kita lakukan kepadanya.
Harapan: Bangun Sumatera Tanpa Merusaknya
Sumatera bisa kok dibangun tanpa harus menghancurkan hutan.
Pembangunan dan pelestarian alam tidak harus saling meniadakan.
Yang penting: keserakahan harus dihentikan.
Dan pemerintah harus berhenti cuma “hadir ketika korban sudah berjatuhan”.
Hadirnya harus di awal, dengan pengawasan, kebijakan tegas, dan keberanian menolak izin yang merusak bumi.
Penutup: Jangan Biarkan Bencana Menjadi Tradisi Tahunan
Kalau kita tidak berubah, bencana ini akan datang lagi.
Tahun depan. Tahun berikutnya. Dan selanjutnya.
Dan berita duka itu akan kembali mengisi linimasa kita.
Saatnya bicara jujur:
yang kita hadapi bukan hanya bencana alam—tetapi bencana kebijakan.
Dan yang bisa menghentikannya bukan hujan, bukan doa, bukan alam—
tapi keberanian manusia untuk memperbaiki kesalahan yang selama ini diabaikan.