Realitakini.com-Agam
Kehidupan senja yang seharusnya menjadi masa beristirahat setelah puluhan tahun mengayuh hidup dan menggapai asa, Namun lain bagi Pasangan Suami Istri Renta, Musdir St. Panduko (82) dan istrinya, Ni Wis (80), warga Jorong Jalikua Patanagan, Nagari Koto Tangah, Tilatang Kamang, kabupaten Agam senja justru menjadi babak paling pilu dalam perjalanan panjang mereka.
Pasangan renta ini menggantungkan hidup dari memancing belut pekerjaan yang menguras tenaga, tak sebanding dengan usia yang terus merangkak naik. Di sela letih itu, mereka kadang menahan lapar, kadang menahan malu menerima belas kasih tetangga. Hidup seadanya, dalam arti sebenarnya.
Rumah yang Bukan Lagi Tempat Pulang
Rumah yang mereka huni lebih mirip gubuk yang menua. Berlantaikan tanah, beralas tikar yang sudah mengeras. Dindingnya bukan papan, bukan beton melainkan terpal sobek dan spanduk bekas pilkada yang sudah pudar diguyur hujan dan panas.
Di sudut halaman, fasilitas MCK seadanya berdiri lebih mirip bangunan darurat bencana ketimbang tempat manusia bermartabat.Namun di balik semua keterbatasan itu, Musdir dan istrinya tetap ber pegang pada satu harapan.
Harapan yang Ternoda Sistem
Harapan itu hancur ketika nama mereka luput dari daftar penerima Program Bedah Rumah (realisasi rehab rumah) yang berlangsung di nagari tersebut. Bukan karena tak layak melainkan karena diduga adanya permainan kelompok kecil yang mengatur siapa yang patut dan tidak patut menerima bantuan.
Ironisnya, beberapa rumah yang menerima bantuan justru milik warga yang tergolong mampu. Rumah layak bantuan dialihkan, sementara rumah ringkih pasangan lansia ini dibiarkan seolah mereka tak ada.
Salah seorang anggota Tilatang Jamang Kamo Bersatu (TKBL) yang ditemui Realitakini.com, Kamis (11/12) by Whastup mengakui kejanggalan itu. Ada kedekatan. Ada kedapatan. Ada keberpihakan. Ada yang seharusnya tidak dapat, malah dapat.
Sementara pasutri tua ini yang jelas secara kasat mata memenuhi kategori prioritas justru seolah dikeluarkan dari peta kehidupan sosial nagari.
“Ini bukan lagi persoalan bantuan. Ini persoalan hati nurani,” ujar seorang warga yang enggan identitas nya dipublikasikan dengan nada getir.
“Terzalimi” oleh Mereka yang Seharusnya Melindungi
Tidak pantas rasanya seorang fasilitator, apalagi perangkat nagari, mempermainkan akses warga miskin terhadap hak mereka. Sebagai mana yang tertuang dalam, Undang-undang No. 13/2011 tentang Penang anan Fakir Miskin dan lansia sudah sangat jelas mengatur perlindungan dan prioritas terhadap warga miskin ekstrem, terutama lansia.
Namun nyatanya, dalam kasus ini hukum seolah hanya bunyi pasal tanpa nurani.
Program yang seharusnya menjadi jembatan keluar dari kemiskinan, berubah menjadi panggung kecil untuk memuaskan kedekatan dan kepentingan tertentu.
Musdir dan Ni Wis hanya mampu menatap dari kejauhan, ketika rumah-rumah yang jauh lebih baik dari rumah mereka dibenahi. Mereka tidak memprotes, tidak meminta. Senja usia mengajarkan mereka diam, bukan karena pasrah tapi karena lelah.
Jeritan Senyap dari Sudut Jalikua Patanagan
Di usianya yang 82 tahun, tangan Musdir masih menggenggam pancing, bukan karena ingin, tapi karena hidup memaksanya demikian. Sementara Ni Wis, dengan tubuh yang semakin ringkih dan buta, masih mencari-cari dari siapa esok mereka akan bisa meminta setangkup beras.
Pasangan ini bukan meminta belas kasihan, mereka hanya meminta hak yang telah dijamin negara. Hak untuk hidup layak. Hak untuk diperlakukan manusiawi. Hak untuk merasakan sedikit saja kenyamanan di usia senja.
Panggilan untuk Pemerintah dan Penegak Hukum
Kasus ini bukan sekadar “pembagian bantuan yang tidak tepat sasaran.”Ini indikasi bahwa ada yang harus diperiksa. Ada yang harus diluruskan. Ada yang harus dipertanggungjawabkan.
Masyarakat berharap pemerintah kabupaten, dinas terkait, hingga aparat hukum tidak menutup mata. Tidak boleh ada lansia yang dibiarkan hidup dalam ketidakadilan akibat ulah segelintir oknum.
Senja Mereka Tidak Boleh Berakhir Dalam Gelap
Musdir dan Ni Wis mungkin tidak lantang berteriak. Namun kisah mereka sudah cukup untuk mengetuk ruang paling dalam dari kemanusiaan kita.
Bukan harta yang mereka minta.
Bukan istana yang mereka harapkan.
Hanya sebuah rumah layak, tempat untuk menutup usia dengan damai bukan dengan rasa terzalimi.
Sampai berita ini diturunkan tidak satupun pihak dari pemerintahan nagari atau yang terkait dengan persoalan ini yang bisa dihubungi untuk kepentingan konfirmasi. (Bagindo)
Tags:
Agam
